Senin, 15 Desember 2008

Dimeteraikan dengan DarahNya

John Huss, Cekoslowakia, 1415

“John Huss!”
Tahanan itu berdiri saat penjaga memanggil namanya. Ia mengejap-ngejapkan matanya saat melanggkah dari kegelapan penjara ke dalam cahaya siang hari. Begitu ia melihat keempat uskup itu, ia tahu apa yang sedang terjadi. Mereka telah datang untuk mengetahui apakah ia akan meneruskan pendiriannya – atau apakah ia akan mundur.
Bersama apra uskup terdapat temannya, Lord John de Clum, yang berlari menuju padanya. “Tuan John Huss aku menyerahkan kepadamu: Jika kau tau bahwa kau bersalah atas apapun tuduhan yang diberikan kepadamu, jangan malu untuk mengakui bahwa kau salah dan mengubah pendapatmu.”
John de Culm berhenti sejenak, mencari kata-kata yang dapat menguatkan sahabatnya. “Di sisi lainnya, tolong jangan khianati nuranimu sendiri. Lebih baik untuk menderita hukuman apapun, daripada apa yang telah kau temukan sebagai kebenaran.”
Dengan airmata di matanya, John Huss menghadap sahabatnya, “Dengan Alah tertinggi sebgai saksiku, aku siap dengan hati dan pikiranku untuk mengubah pendirianku jika Dewan dapat mengajarku berdasarkan Firman Allah yang kudus dan menyatakan kesalahanku.”
Para uskup paling bergumam di antara mereka, “Lihatlah betapa keras kepalanya dia”
“Ia penuh dengan kebanggaan, ia lebih memilih pendapatnya sendiri di atas pendapat seluruh Dewan.”
“Ia tidak akan berubah, melainkan akan meneruskan kesalahannya.”
Melihat bahwa ancaman kematian pun tidak cukup untuk mengubah pikiran Huss, mereka memerintahkan para penjaga untuk mengembalikannya ke dalam selnya. Pada hari berikutnya ia akan dijatuhi hukuman mati.
Sebelumnya John Huss adalah seorang imam di Negara yang kini bernama Cekoslowakia. Ia merupakan salah satu orang Kristen yang pertama yang mengangkat suaranya bagi kebebasan beragama dan hak seorang individu untuk memiliki hubungan pribadi dengan Allah. Dengan berani ia menetang pemimpin-pemimpin gereja yang berkuasa yang tidak hidup menurut cara hidup Kristus. Ia juga berdiri menentang juga berdiri menentang hukuman mati bagi mereka yang tidak setuju dengan cara hidup Kristus.
Huss telah dikeluarkan dari gereja karena kepercayaan-kepercayaannya beberapa tahun sebelumnya. Bagaimanapun ia meneruskan untuk berkotbah dengan keberanian yang besar, memenangkan rasa kagum dari rakyat jelata dan kaum bangsawan. Pada tahun 1413, ia diperintahkan untuk menghadap Dewan gereja di Constance. Ia pergi dengan sukarela; ia menyambut kesempatan untuk menerangkan kepercayaannya dan kebenaran-kebenaran yang telah ia dapati di hadapan para pemimpin imam. Tetapi hal itu merupakan jebakan.
Huss tidak sekalipun diijinkan untuk menyampaikan kepercayaan-kepercayaannya, malahan sebaliknya dilemparkan ke dalam penjara. Setelah sembilanbelas bulan, ia dihadapkan kepada siding. Setiap kali John membuka mulutnya untuk membela dirinya, kerumunan orang membuat keributan yang amat keras sehingga suaranya tidak bisa terdengar. Akhirnya mereka membacakan tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya dan membacakan bagian-bagian dari bukunya sebagai jawaban dari dirinya.
Mereka mengatakan kepadanya, “Jika kau mengakui dengan kerendahan hatibahwa kau salah selama ini, berjanji tidak akan pernah mangajarkan hal-hal ini kembali, dan dihadapan umum menarik semua ucapan yang telah kau katakana, kami akan memberikan pengampunan kepadam¬¬u dan mengembalikan kehormatanmu.”
“Aku berada dalam pengawasan Tuhan Allahku”, jawab John dengan airmata. “Aku tidak dapat melakukan apa yang kalian ingin aku lakukan dengan cara apapun. Bagaimanakah aku dapat berhadapan dengan Allah? Bagaimanakah aku dapat berhadapan dengan orang-orang yang telah kuajar. Mereka kini memiliki pengetahuan yang paling kokoh dan pasti akan Firman Allah dan dipersenjatai untuk mengatasi semua serangan iblis. Bagaimanakah aku melalui teladanku, membuat mereka menjadi bimbang? Aku tidak dapat lebih menghargai tubuhku sendiri daripada kesehatan dan keselamatan mereka!”
Mereka memakaiakan kepadanya jubah dari hiasan-hiasan imam – dan secara bergantian melepaskan benda-benda yang baru mereka pakaikan kepadanya. Mereka melakukan itu untuk menunjukkan bahwa mereka sedang melucuti hak-hak istimewanya sebagai imam. Akhirnya satu-satunya yang tertinggal yang membuatnya tampak sebagai seorang imam adalah rambutnya: rambutnya dicukur botak pada bagian atasnya. Pada akhirnya mereka mengambil ini pula, memotong kulit kepala pada bagian atas kepalanya dengan sebuah gunting. Akhirnya ia dihukum untuk dibakar hingga mati.
John Huss dibawa keluar gerbang, dengan seluruh kota mengikutinya. Ketika ia tiba di tempat eksekusi, ia berlutut dan berdoa sesuai dengan Maz 31 dan Maz 51, dan kemudian berkata dengan riang, “Ke dalam tanganMu, ya Allahku, aku menyerahkan nyawaku: Engkau telah membebaskan aku, ya Allah yang paling baik dan paling berbelas kasihan!”
Menariknya dari doa-doanya, si algojo mengikatnya ke tiang pangcang dengan tali-temali yang basah. Lehernya diikat ke tiang pancang dengan sebuah rantai. Melihat ini John tersenyum dan mengatakan kepada para pengeksekusinya, “Allahku Yesus Kristus dahulu diikat dengan rantai yang lebih keras dibandingkan dengan ini demi diriku, dan jika demikian mengapakah aku harus malu atas rantai yang berkarat ini?”
Berikat-ikat kayu ditempatkan mengelilinginya, mencapai hingga ke dagunya.
Saat diberikan satu kesempatan terakhir untuk meninggalkan kesalahannya, John menjawab, “Kesalahan apa yang harus aku tinggalkan? Aku bersalah untuk tidak satu pun kesalahan. Aku telah mengajarkan semua manusia pengakuan dan remisi dari dosa, menurut kebenaran dari Injil Yesus Kristus. Karena injil itu kini aku berada di sini, dengan pikiran yang gembira dan keberanian, siap untuk menderita kematian. Apa yang kuajar dengan bibirku kini kumateraikan dengan darahku.”
Saat api dinyalakan, John Huss mulai menyanyikan sebuah himne dengan suara yang demikian lantang dan gembira hingga suaranya terdengar mengatasi derak api dan ejekan dari kerumunan. Lagunya: “yesus Kristus! Putera dari Allah yang hidup! Berikanlah belas kasihan kepadaku.”

John Huss memilih untk mati daripada menyangkal kebenaran-kebenaran yang telah ia pelajari dari kitab suci. Ia percaya kepada Tuhan untuk menghibur dan menguatkan dirinya, dan Yesus melakukannya. Sejarah mencatat pada saat penyidangannya, sahabatnya John de Clum memberi Penghiburan besar besar kepadanya: “Tidak ada lidah yang dapat mengucapkan keberanian apa yang ia terima dari pe,mbiacaraan singkat yang ia lakukan dengannya, ketika dalam pertengkaran yang demikian hebat dan kebencian yang menyedihkan, ia melihat dirinya sebagai yang paling ditinggalkan dari antara seluru manusia.”